Miskin tidak hanya menimbulkan nestapa tapi juga bisa membuat
seseorang merasa tak punya masa depan lagi. Lilitan kemiskinan
kerap kali membikin seseorang berupaya keluar dari kegetiran
hidup dengan cara yang terkadang tidak bisa diterima oleh
kebanyakan orang. Khoir Umi Latifah (25) mengakiri kepahitan hidupnya lantaran
miskin dengan bunuh diri. Ibu muda penduduk Buyengan, Klaten,
Jawa Tengah itu pun membawa dua anaknya, Linduaji (3,5) dan
Dwi (2,5) dalam aksi bakar diri, Rabu (11/8) lalu. Bekerja sebagai penjaga rumah kos di Wisma Perkutut Gang Ori II,
No 16 B Papringan, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta,
tetap tidak bisa mengubah nasibnya. Umi tewas seketika di lokasi
kejadian. Nyawa Kedua anaknya juga tidak tertolong setelah
mengalami luka bakar kendati sempat menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Seorang saksi Dewa, penghuni di tempat kos itu mengungkapkan,
Umi nekat lantaran depresi berkepanjangan. Dia sempat mendengar
ledakan dari dalam kamar mandi sekitar pukul 8.30 WIB. Bersama
penghuni kos lainnya, mereka mendobrak pintu kamar mandi dan
mendapat Umi bersama kedua anaknya sudah terbakar. Kepala Polsek Depok Barat, Sleman, Ajung Komisaris Polisi Andrea
Deddi yang mendatangi tempat kejadian mengungkapkan, korban
sengaja membakar tubuhnya serta kedua anaknya dengan maksud
bunuh diri, Dari secarik kertas yang ditulis perempuan itu kepada suaminya,
Slamet (30), diketahui bahwa korban bunuh diri karena berhutang
kepada rekannya sebesar Rp 20 ribu. "Mas aku njileh duit
Mbak Turiyah Rp 20.000, sok nek duwe duit, tolong dibalekno yo
(Mas aku pinjam duit Mbak Turiyah Rp 20.000, besok kalau ada duit, tolong dibalikkan ya)," tulis korban dalam pesannya itu.
Namun Turiyah justru mengungkapkan, Umi sudah melunasi hutangnya
tiga bulan lalu. Andrea menambahkan, ibu korban, Suratmi mengungkapkan bahwa
anaknya sering merasa cemburu terhadap suaminya. Polisi belum
bisa mengambil kesimpulan dari keterangan tersebut, dan masih
mengembangkan pengusutan. "Kami masih terus melakukan pemeriksaan terhadap para saksi," jelasnya. Slamet menampik keterangan mertuanya itu. Dia bersikeras penyebab
istrinya bunuh diri karena kondisi ekonomi yang dialami keluarganya.
"Saya tidak selingkuh. Ini karena kami memiliki hutang sama orang
lain sebesar Rp 5 juta," tuturnya. Umi, bukan satu-satunya pelaku bunuh diri lantaran himpitan
kemiskinan. Kasus serupa kerap berulang, Bahkan di Kabupetan
Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bunuh diri kerap menjadi
solusi terakhir untuk keluar dari persoalan ekonomi. Cenderung Meningkat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Gunung Kidul Ajun Komisaris
M Qori Oktohandoko pernah menyebutkan, kasus bunuh diri di
Gunungkidul pada tahun ini cenderung meningkat dibandingkan masa
sebelumnya. Kebanyakan pelaku adalah petani, dan sebagian besar
karena faktor ekonomi dan menderita penyakit yang tak kunjung
sembuh. Dari Januari hingga akhir Juli lalu, tercatat 17 kasus bunuh diri, sedang selama setahun lalu, ada 29 kasus. Bunuh diri terakhir pada 30 Juli lalu dilakukan Wonokromo, petani
di Plembengan Kidul, Candirejo, Semanu. Kakek berusia 90 tahun itu
ditemukan keluarganya tewas tergantung di tempat penyimpanan
kayu bakar.
Mencermati fenomena itu, Direktur Lembaga Kajian dan Pendidikan
Sosial Yogyakarta Aminuddin Azis berpendapat, bunuh diri di
Gunungkidul merupakan akibat krisis konsep hidup. "Pelaku bunuh diri memiliki krisis konsep hidup sehingga ketika
ada permasalahan yang menurut mereka tidak mampu diselesaikan
kemudian memilih mengakhiri hidupnya. Mereka bunuh diri bukan
karena mau lari dari tanggung jawab melainkan karena tidak mau
membebani keluarganya," tuturnya. Angka bunuh diri di Kabupaten Gunung Kidul mencapai sembilan orang
per 100.000 penduduk setiap tahun, jauh lebih tinggi dibanding
Jakarta yang hanya kurang dari dua jiwa per 100 000 per tahun
setiap tahunnya.
Ida Rachmawati, psikolog dari RSUD Wonosari mengatakan, setidaknya
10 pasien kasus bunuh diri gagal yang diianganinya dalam satu bulan.
Mereka rata-rata pernah berpikiran untuk menghabisi nyawanya
dengan cara bunuh diri. Selama 10 tahun terakhir, Gunungkidul menempati peringkat pertama
kasus bunuh diri di Indonesia. Kasus bunuh diri sebenarnya bukan
100 persen karena keinginan individu saja, namun pengaruh
lingkungan, pergaulan, dan kondisi ekonomi menjadi faktor penentu
yang memperbesar keinginan seseorang untuk bunuh diri. Pengamat sosial Darmaningtyas mengemukakan, bunuh diri dengan latar
belakang kemiskinan menunjukkan korban sudah sangat putus asa dan
frustasi akibat penderitaan dan tekanan hidup yang sangat berat. Menurut dia, kasus bunuh diri menunjukkan makin minimnya hubungan
sosial di antara masyarakat. Kepedulian terhadap sesama sudah
hilang. Ironinya, orang lebih suka mentertawakan penderitaan
orang lain.Solusinya? Darmanintyas hanya berpegang pada satu kata,
berantas kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar