09/02/13

Kala Kemiskinan Berujung Bunuh Diri

Miskin tidak hanya menimbulkan nestapa tapi juga bisa membuat 
seseorang merasa tak punya masa depan lagi. Lilitan kemiskinan 
kerap kali membikin seseorang berupaya keluar dari kegetiran 
hidup dengan cara yang terkadang tidak bisa diterima oleh 
kebanyakan orang.

Khoir Umi Latifah (25) mengakiri kepahitan hidupnya lantaran 
miskin dengan bunuh diri. Ibu muda penduduk Buyengan, Klaten, 
Jawa Tengah itu pun membawa dua anaknya, Linduaji (3,5) dan 
Dwi (2,5) dalam aksi bakar diri, Rabu (11/8) lalu.

Bekerja sebagai penjaga rumah kos di Wisma Perkutut Gang Ori II, 
No 16 B Papringan, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 
tetap tidak bisa mengubah nasibnya. Umi tewas seketika di lokasi 
kejadian. Nyawa Kedua anaknya juga tidak tertolong setelah 
mengalami luka bakar kendati sempat menjalani perawatan medis 
di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta.

Seorang saksi Dewa, penghuni di tempat kos itu mengungkapkan, 
Umi nekat lantaran depresi berkepanjangan. Dia sempat mendengar 
ledakan dari dalam kamar mandi sekitar pukul 8.30 WIB. Bersama 
penghuni kos lainnya, mereka mendobrak pintu kamar mandi dan 
mendapat Umi bersama kedua anaknya sudah terbakar.

Kepala Polsek Depok Barat, Sleman, Ajung Komisaris Polisi Andrea 
Deddi yang mendatangi tempat kejadian mengungkapkan, korban 
sengaja membakar tubuhnya serta kedua anaknya dengan maksud 
bunuh diri,

Dari secarik kertas yang ditulis perempuan itu kepada suaminya, 
Slamet (30), diketahui bahwa korban bunuh diri karena berhutang 
kepada rekannya sebesar Rp 20 ribu. "Mas aku njileh duit 
Mbak Turiyah Rp 20.000, sok nek duwe duit, tolong dibalekno yo 
(Mas aku pinjam duit Mbak Turiyah Rp 20.000, besok kalau ada duit, 
tolong dibalikkan ya)," tulis korban dalam pesannya itu. 
Namun Turiyah justru mengungkapkan, Umi sudah melunasi hutangnya 
tiga bulan lalu.

Andrea menambahkan, ibu korban, Suratmi mengungkapkan bahwa 
anaknya sering merasa cemburu terhadap suaminya. Polisi belum 
bisa mengambil kesimpulan dari keterangan tersebut, dan masih 
mengembangkan pengusutan. "Kami masih terus 
melakukan pemeriksaan terhadap para saksi," jelasnya.

Slamet menampik keterangan mertuanya itu. Dia bersikeras penyebab 
istrinya bunuh diri karena kondisi ekonomi yang dialami keluarganya. 
"Saya tidak selingkuh. Ini karena kami memiliki hutang sama orang 
lain sebesar Rp 5 juta," tuturnya. 

Umi, bukan satu-satunya pelaku bunuh diri lantaran himpitan 
kemiskinan. Kasus serupa kerap berulang, Bahkan di Kabupetan 
Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bunuh diri kerap menjadi 
solusi terakhir untuk keluar dari persoalan ekonomi.

Cenderung Meningkat
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Gunung Kidul Ajun Komisaris 
M Qori Oktohandoko pernah menyebutkan, kasus bunuh diri di 
Gunungkidul pada tahun ini cenderung meningkat dibandingkan masa 
sebelumnya. Kebanyakan pelaku adalah petani, dan sebagian besar 
karena faktor ekonomi dan menderita penyakit yang tak kunjung 
sembuh. Dari Januari hingga akhir Juli lalu, tercatat 17 kasus 
bunuh diri, sedang selama setahun lalu, ada 29 kasus. 

Bunuh diri terakhir pada 30 Juli lalu dilakukan Wonokromo, petani 
di Plembengan Kidul, Candirejo, Semanu. Kakek berusia 90 tahun itu 
ditemukan keluarganya tewas tergantung di tempat penyimpanan 
kayu bakar. 
 
Mencermati fenomena itu, Direktur Lembaga Kajian dan Pendidikan 
Sosial Yogyakarta Aminuddin Azis berpendapat, bunuh diri di 
Gunungkidul merupakan akibat krisis konsep hidup. 
"Pelaku bunuh diri memiliki krisis konsep hidup sehingga ketika 
ada permasalahan yang menurut mereka tidak mampu diselesaikan 
kemudian memilih mengakhiri hidupnya. Mereka bunuh diri bukan 
karena mau lari dari tanggung jawab melainkan karena tidak mau 
membebani keluarganya," tuturnya. 

Angka bunuh diri di Kabupaten Gunung Kidul mencapai sembilan orang 
per 100.000 penduduk setiap tahun, jauh lebih tinggi dibanding 
Jakarta yang hanya kurang dari dua jiwa per 100 000 per tahun 
setiap tahunnya. 
Ida Rachmawati, psikolog dari RSUD Wonosari mengatakan, setidaknya 
10 pasien kasus bunuh diri gagal yang diianganinya dalam satu bulan. 
Mereka rata-rata pernah berpikiran untuk menghabisi nyawanya 
dengan cara bunuh diri.

Selama 10 tahun terakhir, Gunungkidul menempati peringkat pertama 
kasus bunuh diri di Indonesia. Kasus bunuh diri sebenarnya bukan 
100 persen karena keinginan individu saja, namun pengaruh 
lingkungan, pergaulan, dan kondisi ekonomi menjadi faktor penentu 
yang memperbesar keinginan seseorang untuk bunuh diri. 

Pengamat sosial Darmaningtyas mengemukakan, bunuh diri dengan latar 
belakang kemiskinan menunjukkan korban sudah sangat putus asa dan 
frustasi akibat penderitaan dan tekanan hidup yang sangat berat.
Menurut dia, kasus bunuh diri menunjukkan makin minimnya hubungan 
sosial di antara masyarakat. Kepedulian terhadap sesama sudah 
hilang. Ironinya, orang lebih suka mentertawakan penderitaan 
orang lain.Solusinya? Darmanintyas hanya berpegang pada satu kata, 
berantas kemiskinan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar