Kampung
ini unik. Sangat unik. Luas wilayahnya cuma 5000 meter persegi, tetapi
ditempat-tinggali oleh 96 KK, 370 jiwa. Berdasarkan laporan per Agustus
2013, rincian penduduk: 178 L, 192 P. Perkembangan 2014 belum
terlaporkan. Itulah Kampung Nusantara, yang terletak di kawasan Jelok,
desa Beji, kecamatan Patuk, Gunungkidul.
Edi
Sutrisno, Kepala Desa Beji dua periode, yang tanggal 30 Juni, Senin
2013 habis masa jabatannya, mengungkapkan hal itu, di rumahnya, perihal
keunikan desa wisata yang didirikan tahun 2012 silam.
“Kampung
Nusantara itu nama sebuah destinasi (objek wisata) Mas. Jangkauan dari
ibukota Kecamatan Patuk 6 km. Tetapi kalau dari Wonosari kota, sekitar
17 km,” kata Edi Sutrisno, Minggu siang, 29/6/2014.
Untuk
mencapai kampung unik, demikian Edi Sutrisno menambahkan, wisatawan
harus uji nyali. Mereka menyeberang sungai Oya melalui jembatan gantung
sepanjang 98 m. Jembatan tersebut selebar 1,70 m, disangga tiang cor,
dicincangkawat seling.
Awalnya,
ini penjelasan Sunardi (40) dukuh setempat, Kampung Nusantara (KN)
didesain utnuk pembelajaran warga dalam mengapresiasi lingkungan. Di
kawasan KU, warga belajar membuat pesemaian, berdiskusi soal ilmu
pertanian ala kadarnya.
“Subandi, Sukriyanto, Harjono oleh masyarakat dipercaya sebagai ketua, sekretaris dan bendahara Pokdarwis KN,” ungkap Sunardi.
Mengikuti
perkembangan pariwisata, masyarakat Jelok berubah pikiran. Ini tidak
lepas dari dorongan Aminudin Aziz mahasiswa UNY yang KKN di Jelok tahun
2008.
“Kami
bertiga, bersama rekan-rekan Karang Taruna didorong untuk mengemangkan
KN, sebagai kawasan wisata yang unik,” kata Subandi (38), Ketua
Pokdarwis.
Sebagaimana
terlihat seperti sekarang, demikian Subandi alias Teblah menjelaskan,
KN ini memiliki 1 aula, 2 buah rumah panggung dan 7Gazebo.
Tak sebatas itu, KN punya sebuah getek (rakit) terbuka, berukuran 4 x 6 meter. Disediakan untuk pengujungyang ingin makan malam di atas air.
Dengan
penerangan lilin, teriring alunan musik Jawa (gamelan) gender dan
siter, wisatawan bebas menikmati udara malam hari, di atas sungai Oya.
“Tetapi itu hanya paket pada musim kemaru Pak, di musim hujan, jelastidak mungkin wisatawan kita suguhi atraksi seperti itu,” kata Subandi mengakhiri penjelasannya.
Wonosari, (sorotgunungkidul.com)--Outbond
yang digelar SMA N 1 Wonosari, Jumat (27/12/2013) ternyata tak berijin
dari kepolisian dan tidak ada koordinasi dengan pihak pengelola Desa
Wisata Jelok (Dewi Elok).
Hal ini dikeluhkan Komisaris Polisi
Tri Pujo Santoso, Kapolsek Patuk, dirinya mengaku tak mendapatkan ijin
pemberitahuan kegiatan,”Kami tidak mendapatkan ijin kegiatan dari pihak
panitia. Padahal acaranya sendiri sampai lintas kecamatan, harusnya
melakukan ijin ke Polres,” katanya saat ditemui wartawan di halaman SMA N
1 Wonosari, disela-sela menantikan kepulangan para peserta outbond.
Tri Pujo menjelaskan, untuk melakukan
kegiatan outbond harusnya dilakukan survey terlebih dahulu dan melihat
situasi dan kondisi alam.“ Harapannya peserta bisa memahami medan dan
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti saat ini,” ucapnya.
Sementara Aminudin Aziz Pengelola Desa
Wisata Jelok menyayangkan kejadian ini. Pasalnya pihak dari panitia
tidak ada koordinasi sebelumnya kepada pihak pengelola.”Kami sebagai
pengelola sangat kecewa dengan peristiwa ini,” paparnya.
Dia juga menjelaskan, pihak panitia
juga tidak menggunakan jasa pemandu dari Desa Wisata Jelok, padahal
rafting (selusur sungai) yang dilakukan di Kali Oya tanpa pemandu itu
sangat berbahaya.” Saya benar-benr kecewa karena secara tidak langsung
pasti akan berdampak terhadap Dewi Elok,” jelasnya.
Dampak itu bisa berpengeruh secara
langsung maupun tidak langsung terhadap pengunjung Desa Wisata Jelok.
Pasalnya seolah-olah kejadian ini kesalahan dari pihak
pengelola."Padahal panitia benar-benar tidak ada koordinasi dengan pihak
pengelola. Mereka hanya memberitahukan akan mengadakan acara outbond,
tetapi tidak dijelaskan berapa jumlah pesertanya. Apa saja kegiatannya
juga tidak dijelaskan. Tahu-tahu mereka sudah mengambil perahu karet 6
unit, pelampung beberapa buah. Itu sama sekali tidak ijin kepada kita,
kemudian kejadian seperti yang tidak diinginkan ini," tegasnya.
Ditambahkan Azis, peristiwa ini
terjadi lantaran tidak ada koordinasi dari panitia kepada Dewi Elok,
“Yang namanya pemandu saja pukul 15.00 WIB itu sudah tidak berani
menurunkan wisatawan yang ingin rafting. Sebab perhitungannya perjalanan
dari bawah Jembatan Bunder hingga Dewi Elok akan memakan waktu lebih
dari 3 jam. Lha mereka berani-beraninya menurunkan peserta pukul 15.00
WIB, tanpa pemandu, bahkan sebagian besar tidak bisa berenang, itu
konyol namanya,” pungkasnya.
WONOSARI (KRjogja.com) - Sebanyak 38 siswa SMAN 1
Wonosari nyaris hilang ketika melakukan penyusuran Sungai Oyo Bunder,
Playen yang hanya dipandu salah satu guru mereka, Jumat (27/12/2013)
malam. Kegiatan susur sungai tersebut tergolong nekat dan ilegal, bahkan
tidak meminta bantuan pemandu Desa Wisata Jelok.
"Semuanya
ditemukan dalam keadaan selamat. Susur sungai tersebut diluar dugaan,
tanpa sepengetahuan pemandu dan pengelola wisata jelok," kata Aminudin
Aziz Pengelola Desa Wisata Jelok, Beji, Patuk, Sabtu (28/12/2013).
Informasi di lapangan menyebutkan, awalnya siswa tersebut hanya
menggelar kegiatan 'outbond' di kawasan Desa Wisata Jelok. Agenda
tersebut berjalan lancar tidak ada kendala. Namun sekitar pukul 15.00
Wib, salah satu guru memandu sendiri puluhan siswa menyusuri sungai oya
menggunakan 7 perahu, dari sungai Hutan Bunder, Playen.
Namun
sampai malam pukul 20.00 Wib tidak juga kembali atau sampai di Desa
Wisata Jelok. Pengelola bersama warga akhirnya melakukan pencarian, dan
berhasil menemukan puluhan siswa tersebut hingga tengah malam.
"Mereka sempat hilang, tetapi berhasil ditemukan. Kegiatan susur sungai
ini ilegal tanpa memberitahu pemandu dan pengelola desa wisata Jelok.
Bahkan ambil perahu untuk menyusuri sungai juga tanpa sepengetahuan
pemandu," ucap Aziz.
Usai ditemukan puluhan siswa tersebut diantar kembali ke sekolah. (Ded)
Wakil Pupati Gunungkidul Immawan Wahyudi (kiri) dan Ki Bekel Joko Supriyanto dari Kraton Yogyakarta saat menikmati hidangan Gudeg Jantung Pisang di Desa Wisata Jelok, beberapa waktu lalu. (JIBI/Harian Jogja/Ujang Hasanudin)
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL-Gudeg gori atau nangka
muda mungkin hal yang biasa ditemui di Jogja. Namun pernahkah Anda
mencicipi gudeg dari jantung pisang. Anda bisa menemukannya di Desa
Wisata Jelok, Desa Beji, Kecamatan Patuk, Gunungkidul.
Gudeg jantung pisang yang menjadi makanan khas desa setempat tersebut
ternyata disukai oleh sejumlah orang yang hadir termasuk Wakil Bupati
Gunungkidul Immawan Wahyudi dan Ki Bekel Joko Supriyanto dari Kraton
Jogja ketika disuguhkan dalam acara syukuran pernikahan putri Sultan
Hamengku Buwono X, GKR Hayu dan KPH Notonegoro di pendopo Desa Wisata
Jelok, Jumat (25/10/2013).
Adalah Rumiyati, Rubiah, Purwati dan Semi
yang membuat gudeg jantung pisang itu. Dari tangan mereka jantung
pisang disulap menjadi gudeg yang bercitarasa, yang tidak kalah dengan
gudeg nangka. Cara pebuatannya pun tidak jauh berbeda dengan gudeg
nangka. Butuh sehari semalam jantung pisang bisa halus dan menjadi
gudeg. “Yang paling lama kukusnya karena setelah diiris-iris kemudian
dikukus sampai 10 jam,” kata Purwati.
Uniknya gudeg jantung pisang pun dicampur dengan ulam kalen atau ikan
dari kali. Ikan-ikan itu dikukus bersamaan dengan jantung pisang. Tak
pelak, gudeg ini pun semakin gurih di lidah.
Sukriyanto, ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Jelok mengatakan, ide
pembuatan gudeg itu berawal dari banyaknya jantung pisang di sekitar
Jelok yang dibuang begitu saja. Meski ada beberapa orang yang
memanfaatkannya untuk dibuat sayur. “Tapi belum pernah ada yang dibuat
gudeg,” ucapnya.
Akhirnya setelah didiskusikan bersama masyarakat Dusun Jelok, gudeg
jantung pisang akan menjadi ciri khas makanan Desa Wisata Jelok.
Ternyata tidak semua jantung pisang bisa dimasak. “Tidak sembarang
jantung pisang, harus jantung pisang kepok yang bisa dimasak,” kata
Sukriyanto.
Untuk ulam kalen sebagai campur gudeg pun mereka tidak begitu
kesulitan. Mengingat Desa Wisata jelok berdampingan dengan Kali Oya.
Ikan bisa diambil kapan saja akan dimasak. Mereka memang sudah lama
menjaga Kali Oya dan menyebar berbagai macam ikan.
Ide gudeg jantung pisang pun mendapat tanggapan dari Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata (Disbudpar) Gunungkidul. Disbudpar menyambut baik dengan
upaya masyarakat Jelok menjadikan gudeg jantung pisang sebagaibranding
atau ciri khas Desa Wisata Jelok. Bahkan sebagai bentuk dukungan,
Disbudpar menggandeng Dinas Tanaman pangan dan Hortikultura (TPH) agar
budi daya pisang kepok tetap lestari sehingga ketersediaan bahan dasar
gudeg jantung pisang tetap tersedia.
“Ini hal baru. Saya sudah mencoba gudeg jantung pisang ini rasanya
tidak kalah dengan gudeg-gudeg lainnya,” kata Kepala Bidang Pengembangan
Produk Wisata Disbudpar Gunungkidul Hari Sukmono.
Hari mengakui di Gunungkidul banyak jantung pisang sehingga dengan
adanya terobosan makanan khas bisa menjadi salah satu terobosan daya
tarik wisatawan. “Ketika orang mendengar Gudeg Jantung Pisang akan
mengingat juga Desa Wisata Jelok,” ucapnya.
Kini gudeg jantung pisang itu pun sudah diresmikan menjadi branding
Desa Wisata Jelok oleh Ki Bekel Joko Supriyanto. Bahkan ia menamakan
gudeg tersebut dengan sebutan gudeg sinuhun
PASTVNEWS.COM,
Gudeg tentu tidak asing dengan kata ini, apalgi warga Jogja sudah
sring melahap menu tersebut sebagai sajian makanan khasnya.
Ehh
gudeg yang satu ini beda dengan gudeg yang selama ini kita kenal dari
buah gori atau nangka muda, berbeda dengan gudeg buatan desa wisata
Jelok Beji Patuk ,Justru makanan khasnya terbuat dari jantung pisang
yang di racik dengan racikan ala masakan Jawa hingga menghasilkan menu yang edi dan enak.
Gudeg sinuwun di racik dari jantung pisang dan di tambah ikan kali oya yang enak dan guruh serta manis.
Warga
Jelok beji menamai Gudeg Sinuwun. Sinuwun dari “kata Si,yang artinya
kata “Jelas” Nuwun berarti Terimakasih (jelas dan terimakasih)
pengambilan nama ini di samping arti yang demikian, memang sejak dulu
jatung pisang yang hanya di kenal sebagai pakan ternak, kini di sulap
menjadi makanan enak yang artinya “jelas matur nuwun enak di makan”.
Sukriyanto tengah bersama pokdarwis Syukuran gudeg sinuwun
Demikian
seperti di ungkapkan oleh Sukriyanto pelaku Pokdoarwis Jelok 25
Oktober 25 Oktober 2013. Acara launching gudeg sinuwun di hadiri warga
padukuhan Jelok, lurah desa, dinas Pariwisata Gunungkidul, wakil bupati
Immawan Wahyudi , utusan dari kraton Ngayogyokarto yang di wakili Ki
bekel Supriyanto, dan sejumlah media masa, baik elektronik dan cetak
ikut mengabadikan acara.
WAKIL BUPATI GUNUNGKIDUL
Wakil
bupati dalam sambutannya, saya mendukung penuh menu khas ini, untuk itu
setelah di launching setiap saat pokdarwis harus mau melayani.
Usai
sambutan di lanjutkan makan bersama di lanjutkan pemotongan tumpeng
yang di berikan oleh Lurah desa Beji bapak Edi. Wakil bupati Immawan
mendorong penuh agar makanan khas gudeg sinuwun “Mak Nyus, ketika di
komentari pastvnews.com, fiq”
Patuk,(sorotgunuyngkidul.com)--Yang namanya makanan gudeg pasti identik dengan buah nangka muda atau istilah Jawa, gori dimasak dengan santan
kental yang khas. Namun lain halnya dengan Gudeg Sinuwun, gudeg racikan
tangan terampil warga Jelok, Beji, Patuk ini justru berbahan baku
Jantung Pisang Kepok Kuning dipadu ikan air tawar. Aroma dan citarasa
khas dipercaya dapat menjadi daya tarik wisatawan datang ke Jelok.
Desa Wisata Jelok sebagai obyek wisata
andalan Desa Beji, Patuk, Gunungkidul baru saja launching Gudeg
Sinuwun. Makanan ini dipatenkan sebagai makanan khas desa setempat.
Gudeg Sinuwun adalah gudeg berbahan baku jantung pisang yang dipadu
dengan ikan sungai yang rasanya mempunyai cirri khas yang berbeda dibandingkan sajian gudeg pada umumnya.
Hadir dalam acara ini, Wakil Bupati
Gunungkidul Drs. Immawan Wahyudi, Perwakilan dari Keraton Yogyakarta
Hadiningrat, Ki Bekel Joyo Supriyanto, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan
Hortikultura Gunungkidul, Supriyadi STP, Kepala Desa Beji, dan
masyarakat kawasan Desa Wisata Jelok, Beji, Patuk.
Drs.Immawan Wahyudi dalam sambutannya
menyatakan sangat mendukung kreatifitas masyarakat Desa Wisata Jelok
yang telah mengolah jantung pisang menjadi sebuah makanan yang mempunyai
cita rasa tinggi. Dia berharap selain dapat menjadi makanan khas desa
setempat, Gudeg Sinuwun kedepan mampu mengangkat perekonomian masyarakat
Beji.
“Ini kreatifitas yang mahal, sebuah
jantung pisang yang jaman kecil saya dulu hanya di pakai masyarakat
sebagai makanan ternak, kini masyarakat Beji dapat menyulapnya menjadi
makanan yang nikmat dan sehat,” Ungkapnya.
Acara launching gudeg tersebut di
tandai dengan pemotongan tumpeng oleh Wakil Bupati Gunungkidul dan
diserahkan kepada perwakilan Keraton yakni Ki Bekel Joyo Supriyanto, dan
kemudian di bagikan kepada masyarakat melaui kepala desa setempat.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan
Hortikultura Supriyadi mengaku siap membantu masyarakat dalam
membudidayakan bahan baku berupa pembibitan tanaman pisang Kepok Kuning.
Jenis Kepok Kuning dipilih karena dinilai masyarakat paling bagus
sebagai bahan baku Gudeg Sinuwun.
“Kita akan coba menerapkan sistim
pembibitan pisang melalui kultur jaringan, karena melalui jenis
pembibitan tersebut tanaman pisang jenis kapok kuning akan lebih cepat
berbuah. Jika biasanya berbuah setelah berumur dua tahun, cara ini akan
lebih cepat satu tahun” ungkapnya.
Masyarakat berharap kedepan Gudeg
Sinuwun tidak hanya di sajikan sebagai makanan khas Desa Wisata Jelok,
tetapi juga mampu di nikmati masyarakat luas dengan penyajian yang
menarik.
Menawi info lebih lanjut:
Review media masa digital maupun cetak sudah banyak. Detiktravel dll.
Pagi tadi juga sempet di jelita indosiar untuk tayang yang kedua
kalinya, metro dan tvri juga pernah.
Page facebook : desa wisata jelok
Twitter [at]desawisatajelok
Blog http://dewielok.blogspot.com/
Website : coming soon. Sesuk bakal diinfo meneh
VillageTourismJelok, youwillbe spoiledby thevillage atmospherewithfriendly and welcoming people.Youcan be adventurous, farming, learning even dinneron theriverOya.
Jelokhamlet, village ofBeji, PatukGunungkidul, supposedlyisolatedasroad accessis verydifficultto cross the river80 meterswideOya. Toattend, students crossingtimes withgethekmade ofbamboo. In 1996, thebridgewas built oncommunity andstudentinisiatis.
82meterlong bridgewith a width ofonemetercould becomethe onlyway toJelok, whichfrom 2010known as theTourism Village.
Since then, Jelokbecoming knownascommunity-basedrural tourism, culture andenvironment. Tourismin the villagearea of75hectares isdivided intoadventure tourism, thewhite water rafting,fishing,biking,camping, outbound. Tourismeducation, readingin the library, painting, drawing, farm oragnik, makingbiogas, compost andcharcoal. Whilecultural attractions, such asperformancesof traditional art.
The mostattractivetourist villagelocated30 kilometersfromthe city of Yogyakartaisfriendly and welcoming people. Youcan spend the nightinhomes,rusticdishes fromtheexperiencelearned fromthe organicfieldswitha very low cost, Rp 50,000pernightfor 4 people. Eighttouristguideswereveryfriendly, they will befacilitatingtypeyou choose.
inJelokyou can not onlyhave fun, but getan amazing experience. Beginning in lateJune 2012, dinner on therivercan be enjoyed. Just likein other parts ofEurope, dinner onafloatingbamboogethektimeoyaisgrowingsteadily,entertainedthe musicand songmacapaton a sampan. Dinnerisusually heldin the afternoonafter thevisitorstiredoutbound.
Jelok Tourism Village, Going Back to Bounded Solidarity
About
Jelok Village was an isolated area
because of the difficult access road. To reach this village was not easy
since people had to cross Oyo River
that was about 80 meters in width, by rafts made of bamboo, as long as
the stream flowed friendly. However, around 1996, there was students
from UNY (Yogjakarta State University) who did their community service
in this village. With the locals, they started to build a bridge that
could facilitate the access to this village.
With the principle of cooperation and
solidarity, locals with students became the key of the growing village.
Unfortunately, the earthquake in May 2006 that shook Yogyakarta became
the beginning of locals’ disharmony. It happened because the unequal
distribution of government subsidies to the victims of the eartquake in
this village. But there was a Wonosari-born young man who concerned
about this condition. He was Aziz, one of UNY students who also did his
community service there. For the first time, he was suspected of what he
did as he was not one of the locals. Slowly, this young man, by
involving some young people from this village, tried to get back
people’s trust and started to build again the solidarity spirit that was
almost gone.
They built a hut on the government’s
property as a place where people could hang out or chitchat so they
could strengthen their solidarity between the locals. Nowadays, this hut
is till there and used as a study hall or as a hang out place in the
night time.
This was the place where the idea of
creating a tourism village was initiated. This brilliant idea which came
from locals lively chat was proposed to increase locals’ quality of
life but without ignoring to keep the local culture and values and also
to preserve the beautiful environment. Jelok Village that is located in
Beji, Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta with 75 hectares wide, in 2010,
held a festival and merti (a locals tradition or ritual) of Oyo
River. There were some activities that was aimed to unite the locals to
help each other and to pray together in the Oyo River. Because of that
moment of festival, this village was started to be well-known. This
potential has made Jelok as one of tourism villages in 2010 based on
locals traditions and cultures and also the neighborhood.
Location
Jelok Tourism is located in Jelok
Sub-village, Beji Village, Patuk Sub-district, Regency of Gunung Kidul.
It is precisely at Wonosari Street Km 25. It is about 30 kilometers away
from the southeast of Yogyakarta, or 15 kilometers from the west of
Wonosari, Gunung Kidul.
What to Do
There are few kinds of tourism that
visitors can enjoy in Jelok, such as adventure tourism by rafting in Oyo
river, fishing, riding a bike, camping, and having outbond. There is
also an education tourism, such as library, painting, drawing, organic
farming, making biogas, making compost, and also making charcoal. For
the traditions or cultures for tourism, you can also see merti kali (locals tradition and ritual held along the river), jathilan (locals traditional dance), and mocopat (Javanese traditional poem).
Admission Fee & Visitor’s Info
Visiting
Jelok Tourism Village does not require any entrance ticket. However,
since you are here to get new experience, you are suggested to bring
enough money to take some tourism packages. To experience the
hospitality and the intimacy of the locals, you can also stay in the
residents’ home by only paying Rp 50.000,- per night for 4 people. You
can taste their foods that come from ingredients planted in their
organic farm. There are 8 tour guides to guide you to do several
activities and adventure in this village. One special thing you can get
from this village is that the experience of dinner on the river. Like
what European do, having dinner on the bamboo raft, accompanied by music
and mocopat songs.
How to Get There
By taking public transportation, take the bus with route of
Yogyakarta-Wonosari, stop at Putat village, near the Putat circuit, and
then take the bike taxi. It is 2 kilometers from Putat village.
By taking private vehicles, two-wheeled or four-wheeled vehicles
Gunungkidul, www.jogjatv.tv – Desa
Wisata Jelok nggadhahi kaskaya alam ingkang hanglamlami, lan saged
dipun rembakakaken minangka papan wisata. Wiyaripun pasabinan lan
ilining Lepen Oya ingkang boten nate asat, jinurung gregeting warga
dhateng donyaning pariwisata dipun ajab nggrengsengaken gregetipun
wisatawan plesir dhateng Kampung Jelok.
Samangke ing Gunung Kidul kathah dipun rembakakaken desa wisata,
jalaran warga wiwit tinarbuka lan greget ngrembakakaken desanipun.
Dhusun Jelok, Desa Beji, Patuk, Gunungkidul ingkang kaloka amargi
endahing kawontenan alamipun kawawas trep manawi dipun rembakakaken
minangka desa wisata. Kajawi punika, Desa Jelok ingkang ugi sinebat
kampung Nusantara, ugi greget ngrembakakaken wewengkonipun minangka
desa wisata lan komunitas belajar pendidikan non-formal.
Minggu (5/2) siang, Kepala Dinas Pariwisata Propinsi DIY, sesarengan
Wakil Bupati Gunungkidul nyemak endahing wewengkon alam ing Jelok.
Rombongan dipun dherekaken dening Karang Taruna nyemak kaendahaning Desa
Jelok. (Chandra Saputra)
Gemericik alunan irama alur sungai selalu terdengar hingga tengah
dusun.Suasana jalan desa yang selalu diiringi suara jangkrik dan katak
seakan menambah eloknya suasana desa wisata Dusun Jelok,Desa
Beji, Kecamatan Patuk ini.
Jembatan gantung seakan
menjadi sebuah ciri khas dusun yang dulu dianggap terisolir ini.Namun
dengan kekuatan warga masyarakat, dusun yang berada 16 kilometer arah
barat kota Wonosari ini berada tepat di pinggir Sungai Oya. Lima
cottagedengan dimensi rumah Jawa menambah daya tarik wisatawan untuk
berdiam lebih lama,tinggal dan menyatu dengan kehidupan dusun tersebut.
Keramahan warga dusun juga menjadi daya tarik tersendiri.Sebuah
kehidupan warga yang benar-benar masih suci dan ramah menyapa para tamu.
Panorama dengan latar gunung persawahan serta alur Sungai Oya
mengajak para tamu untuk bergumul dan siap mengarungi konsep wisata
baru,menantang,tapi atraktif dan mendidik.Tak heran banyak tamu dari
dalam negeri maupun mancanegara datang langsung dan tinggal untuk
belajar kehidupan masyarakat Jelok. ”Pemandangan bukitnya sangat
eksotis, masyarakatnya juga friendly,”ujar salah satu peserta dialog
antarumat beragama dan suku asal Australia,AnushaYatawara beberapa waktu
lalu,saat mengunjungi desa wisata ini.
Mahasiswi jurusan seni
di Universitas Perth,Australia ini memberikan acungan jempol atas
keindahan alam perbukitan di Gunungkidul yang sangat eksotis.”Kami
sangat menikmati suasana ini,”ucapnya. Belum lagi lantunan gamelan Jawa
yang siap mengiringi santap malam para tamu.Gending cokekan seakan
menjadikan sebuah kidung mesra bagi para wisatawan yang sengaja datang
untuk bisa menikmati suasana desa dan makan malam di pinggir Kali Oya
tersebut.
Berbagai permainan pun disajikan pengelola desa wisata
ini.Mulai outbond, biking,perahu kano,dan penginapan dengan tarif yang
terjangkau.Untuk menginap semalam,pengunjung dikenai tarif Rp200.000.
Dari harga tersebut,para pengunjung sudah disajikan menu
tradisional,permainan desa,serta bersepeda mengelilingi sungai yang
airnya kian jernih ketika musim kemarau ini. Kepenatan kehidupan kota
akan sirna ketika menikmati hari- hari di Dusun Jelok.Kidung mesra di
pinggir kali inilah sebuah terapi keletihan dari hiruk- pikuknya
kehidupan kota.
Kepala Bidang pemasaran dan Promosi Wisata Dinas
Kebudayaan dan Kepariwisataan (Disbudpar) Gunungkidul Supriyadi
menuturkan,destinasi desa wisata terus dilakukan. Pihaknya sengaja
memberikan ruang bagi desa untuk berkreasi atas potensi wisata yang ada
di desa masing-masing.”Harapan kami,roda perekonomian warga akan
berkembang seiring dengan perkembangan desa wisata ini,”katanya.
Jelok
sebagai salah satu potensi wisata minat khusus telah menjadi salah satu
dari beberapa desa wisata yang siap menyambut wisatawan yang
menginginkan wisata alternatif dan menyegarkan. SUHARJONO Gunungkidul