Tampilkan postingan dengan label Wisata Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wisata Budaya. Tampilkan semua postingan

06/03/13

Kumpulan artikel tentang Desa Wisata Jelok

Desa Wisata Jelok
http://www.visitgunungkidul.com/desa-wisata-jelok/ 

2 Hektare Tanah di Gunungkidul Tergerus Kali Oya 

http://www.harianjogja.com/baca/2013/02/10/2-hektare-tanah-di-gunungkidul-tergerus-kali-oya-377528

Merti Kali Oyo, Tradisi Pembaharuan di Desa Wisata Jelok   

Sejenak di Desa Wisata Jelok

Tradisi Rasulan di  kampung Nusantara Jelok

Yogyakarta yang Sesungguhnya di Desa Wisata Jelok

MELIHAT DESA WISATA JELOK DI GUNUNGKIDUL
Kidung Mesra di Pinggir Oya

Paket Kenikmatan di Kampung Jelok
 

DESA WISATA JELOK BEJI PATHUK (KAMPOENG NUSANTARA)  http://wgtour.wordpress.com/tag/desa-wisata-jelok-beji/

Belajar Kearifan Lokal di Dusun Jelok

Gua Cokakan, Sensasi Seru 'Membelah' Perut Bumi

Kampung Nusantara Desa Wisata di Jelok 

Malam Romantis Di Desa Wisata Jelok

Desa Wisata Jelok
 
Ingin Terus Lestarikan Upacara Sedekah Padi

Satu Ember Lele Dituang di Kali Oya
 
Merti Kali Oya

Tradisi Sedekah Dewi Sri di Jelok Patuk, Gunung Kidul

16/02/13

Dokumentasi Tradisi Methik 10 Februari 2013












 
All photos by Lukman Aji Wibowo (FB Desa Wisata Jelok & Twitter @desawisatajelok)

Masuk koran dan diliput Indosiar






All Photos:dok.pribadi (FB: Aziz Desa Wisata Jelok)

Testimoni host Jelita

TAYANG DI JELITA INDOSIAR SABTU, 9 MARET 2013









13/02/13

Tradisi Wiwitan : Acara Selamatan Tibanya Masa Panen



indosiar.com, Yogyakarta - (Selasa, 12.02.2013) Masyarakat Dusun Jelok Beji, Pathuk, Gunung Kedul, Yogyakarta menggelar tradisi wiwitan. Wiwitan ini sebuah tradisi puji syukur kepada Tuhan saat panen tiba. Tradisi yang nyaris punah ini kini berupaya dihidupkan kembali, bahkan dikemas sebagai paket wisata pedesaan untuk konsumsi wisatawan.
Dengan mengenakan pakaian tradisional, puluhan warga Dusuk Jelok Beji, Pathuk, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ini bersiap mengikuti prosesi arak-arakan dalam tradisi wiwitan atau upacara selamatan mensyukuri panen padi.
Dipimpin seorang tokoh adat setempat, arak-arakan membawa berbagai umba rampe dalam tradisi wiwitan berjalan menyusuri jalan perkampungan menuju persawahan yang tidak jauh dari kampung ini. Sejumlah barang yang dibawa diantaranya adalah nasi ingkung ayam kampung, aneka ubi-ubian, sayur pecel, buah-buahan, sambel gepeng berikut dengan ikan laut goreng.
Setibanya di areal persawahan yang akan dipanen, prosesi diawali dengan doa bersama yang dilanjutkan secara simbolis memotong sepasang batang padi yang melambangkan sepasang pengantin. Potongan padi ini kemudian disimpan dalam lumbung dan dimaknai agar padi tidak cepat habis dan mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat.

Puncak dari tradisi wiwitan adalah umbul dahar atau makan bersama. Dan acara ini yang dinanti-nantikan warga dari segala lapisan usia. Umba rampe yang mereka bawa disantap bersama. Tradisi yang nyaris punah, saat ini berupaya dihidupkan kembali, bahkan oleh pengelola desa wisata Jelok dijadikan paket wisata pedesaan. (Sudaryono/Sup)


12/02/13

Panen, Gelar Mboyong Mbok Sri


Monday, 11 February 2013 09:14 

PATUK - Lumbung pangan di Gunungkidul sebentar lagi bakal terisi. Para petani mulai panen padi. Di wilayah Pedukuhan Jelok, Beji, Patuk, panen dilakukan dengan cara berbeda, kemarin.Panitia menyebutnya Mboyong Mbok Sri Sedono Soko Tegal Kepanasan Digowo Neng Gedong Pedaringan. Kurang lebih artinya, petani memanen padi, kemudian menampungnya di lumbung.Kegiatan ini melibatkan puluhan warga. Mereka berjalan kaki sejauh 500 meter menuju ladang. Nasi tumpeng, dan aneka pangan tradisional diarak untuk memenuhi rangkaian ritual Mboyong Mbok Sri, atau memetik padi.
Sesampai di ladang, petani menyambutnya dengan gerakan cepat memotong batang padi. Seorang kakek, Yoso Suparjono, duduk bersila. Mengambil kemenyan kemudian membakarnya. Mulutnya komat kamit membaca doa, lalu diakhiri dengan mengambil alat pemotong padi, ani-ani.“Mugi-mugi Alloh maringi rejeki engkang katah lan barokah dumateng kito sedoyo (mudah-mudahan Allah SWT memberi rezeki yang banyak untuk kita semua,” kata mbah Yoso dijawab serentak, aamiin, oleh penduduk.
Tokoh masyarakat setempat, Hadi Winoto menjelaskan ritual tersebut dilakukan untuk melestarikan budaya. Intinya, kata dia, semata-mata sebagai ungkapan syukur hamba kepada pemberi rezeki yakni Allah SWT.Ritual seperti ini dilakukan awal musim tanam, dan musim panen. Musim tanam disebut labuhan, kemudian pada saat panen namanya Mboyong Mbok Sri. Dia berharap padi IR64 yang dipanen paling awal tersebut hasilnya bagus.Penyelenggara acara Aminudin Azis mengatakan kegiatan tersebut juga melibatkan anak-anak. Memberikan pencerahan kepada mereka bahwa profesi petani itu tidak perlu dijauhi. (gun/iwa)
                                    


09/02/13

JELANG RAMADHAN : Warga Gunung Kidul Gelar Wayang Shalawat

Gunung Kidul, NU Online
 
Masyarakat Dusun Jelok, Beji, Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menyambut Ramadhan dengan menggelar kreasi wayang kulit shalawat.

"Wayang shalawat yang dibawakan ki Walodeng sebagai dalangnya merupakan perpaduan antara shalawat bahasa jawa yang sudah digubah lagunya ke dalam gending-gending Jawa dengan penampilan punokawan wayang kulit, jadi langsung `goro-goro?," kata kreator wayang shalawat, Aminuddin Azis, disela-sela acara itu, Kamis.

Dia mengatakan keunikan wayang shalawat terletak pada wayang yang hanya terdiri dari "kayon" dan punokawan, Petruk, Gareng, Bagong, dan Semar, yang dimulai dengan shalawat badr dan shalawat-shalawat bahasa Jawa lainnya, katanya.

Menurut dia, dengan adanya wayang kulit tersebut dapat dijadikan hiburan alternatif di tengah banyaknya suguhan sinetron dan film yang terkadang menerjang kearifan lokal dan mengikis budaya atau tradisi.

"Wayang shalawat ini dapat menjadi hiburan alternatif bagi masyarakat Dusun Jelok yang secara geografis merupakan masyarakat terpencil namun memiliki potensi wisata dan budaya," katanya.

Dia mengatakan isi cerita tidak berdasarkan pakem pewayangan yang sudah dibakukan namun lebih ditekankan pada kasus-kasus social yang dikemas secara jenaka.

"Penampilan wayang shalawat selain sebagai suatu yang baru juga menyuguhkan cerita yang membumi, dalam artian ceritanya merupakan kisah masyarakat desa keseharian dan isu-isu sosial misalnya kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain yang dikemas dengan jenaka dan tanpa terikat pakem perwayangan sehingga ketika masyarakat menyaksikan seolah-olah itu adalah cerita dirinya," katanya.

Menurut dia, masyarakat saat ini sering terbuai dengan hiburan televisi yang terkadang jauh dari realitas sosial yang ada dan lebih banyak menampilkan kemewahan, percekcokan keluarga dan kisah percintaan yang mengharu-biru sehingga masyarakat terbawa kisah-kisah sinetron dalam kesehariannya.

Dia mengatakan pemain merupakan gabungan dari kelompok rebana dari Dusun Kayangan, Bogor, Kecamatan Playen dengan masyarakat setempat yang sebelumnya merupakan pemain gamelan (niyogo). (ant/mad)

Wayang Shalawat Ki Walodeng

Kamis, 5 Agustus 2010 | 09:24 WIB

GUNUNGKIDUL, KOMPAS.com — Masyarakat Dusun Jelok, Beji, Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggelar kreasi wayang kulit shalawat dalam menyambut Ramadhan.       "Wayang shalawat yang dibawakan Ki Walodeng sebagai dalangnya merupakan perpaduan antara shalawat bahasa Jawa yang sudah digubah lagunya ke dalam gending-gending Jawa dengan penampilan punokawan wayang kulit, jadi langsung 'goro-goro'," kata kreator wayang shalawat, Aminuddin Azis, di sela-sela acara itu, Kamis (5/8/2010).       Dia mengatakan, keunikan wayang shalawat terletak pada wayang yang hanya terdiri dari `kayon? dan punokawan, Petruk, Gareng, Bagong, dan Semar, yang dimulai dengan shalawat badr dan shalawat-shalawat bahasa Jawa lainnya, katanya.       Menurut dia, dengan adanya wayang kulit tersebut dapat dijadikan hiburan alternatif di tengah banyaknya suguhan sinetron dan film yang terkadang menerjang kearifan lokal dan mengikis budaya atau tradisi.       "Wayang shalawat ini dapat menjadi hiburan alternatif bagi masyarakat Dusun Jelok yang secara geografis merupakan masyarakat terpencil namun memiliki potensi wisata dan budaya," katanya.       Dia mengatakan, isi cerita tidak berdasarkan pakem pewayangan yang sudah dibakukan, tetapi lebih ditekankan pada kasus-kasus sosial yang dikemas secara jenaka.       "Penampilan wayang shalawat selain sebagai suatu yang baru juga menyuguhkan cerita yang membumi. Dalam artian ceritanya merupakan kisah masyarakat desa keseharian dan isu-isu sosial, misalnya kemiskinan dan pengangguran yang dikemas dengan jenaka dan tanpa terikat pakem pewayangan sehingga ketika masyarakat menyaksikan seolah-olah itu adalah cerita dirinya," katanya.       Menurut dia, masyarakat saat ini sering terbuai dengan hiburan televisi yang terkadang jauh dari realitas sosial yang ada dan lebih banyak menampilkan kemewahan, percekcokan keluarga dan kisah percintaan yang mengharu biru sehingga masyarakat terbawa kisah-kisah sinetron dalam kesehariannya.       Dia mengatakan, pemain merupakan gabungan dari kelompok rebana dari Dusun Kayangan, Bogor, Kecamatan Playen, dengan masyarakat setempat yang sebelumnya merupakan pemain gamelan.       "Para pemain kami gabungkan dan hanya berlatih tiga kali sudah dapat tampil menghibur masyarakat," katanya.       Sementara itu, Kepala Dusun Jelok, Ngadiono, mengatakan, sangat senang dengan terbentuknya kembali kelompok kesenian lokal di dusunnya. "Dulu di Dusun Jelok pernah ada kelompok "nyepel" (nembang gending Jawa), namun karena gamelannya dijual, akhirnya bubar dan sekarang hidup lagi dengan kreasi yang  berbeda dan lebih menari," katanya.

http://oase.kompas.com/read/2010/08/05/09241886/Wayang.Shalawat.Ki.Walodeng